Rabu, 21 April 2010

SEJARAH ASWAJA


A. Aswaja: Sebuah Penelusuran Historis
Aswaja (Ahlussunnah wal Jamaah) adalah satu di antara banyak aliran dan sekte yang bermuculan dalam tubuh Islam. Di antara semua aliran, kiranya aswajalah yang punya banyak pengikut, bahkan paling banyak di antara semua sekte. Hingga dapat dikatakan, Aswaja memegang peran sentral dalam perkembangan pemikiran keislaman.

Aswaja tidak muncul dari ruang hampa. Ada banyak hal yang mempengaruhi proses kelahirannya dari rahim sejarah. Di antaranya yang cukup populer adalah tingginya suhu konstelasi politik yang terjadi pada masa pasca Nabi wafat.

Kematian Utsman bin Affan, khalifah ke-3, menyulut berbagai reaksi. Utamanya, karena ia terbunuh, tidak dalam peperangan. Hal ini memantik semangat banyak kalangan untuk menuntut Imam Ali KW, pengganti Utsman untuk bertanggung jawab. Terlebih, sang pembunuh, yang ternyata masih berhubungan darah dengan Ali, tidak segera mendapat hukuman setimpal.

Muawiyah bin Abu Sofyan, Aisyah, dan Abdulah bin Thalhah, serta Amr bin Ash adalah beberapa di antara sekian banyak sahabat yang getol menuntut Ali KW. Bahkan, semuanya harus menghadapi Ali dalam sejumlah peperangan yang kesemuanya dimenangkan pihak Ali KW.

Dan yang paling mengejutkan, adalah strategi Amr bin Ash dalam perang Shiffin di tepi sungai Eufrat, akhir tahun 39 H, dengan mengangkat mushaf di atas tombak. Tindakan ini dilakukan setelah pasukan Amr dan Muawiyah terdesak. Tujuannya, hendak mengembalikan segala perselisihan kepada hukum Allah. Dan Ali setuju, meski banyak pengikutnya yang tidak puas.

Akhirnya, tahkim (arbritase) di Daumatul Jandal, sebuah desa di tepi Laut Merah beberapa puluh km utara Makkah, menjadi akar perpecahan pendukung Ali menjadi Khawarij dan Syi’ah. Kian lengkaplah perseteruan yang terjadi antara kelompok Ali, kelompok Khawarij, kelompok Muawiyah, dan sisa-sisa pengikut Aisyah dan Abdullah ibn Thalhah.

Ternyata, perseteruan politik ini membawa efek yang cukup besar dalam ajaran Islam. Hal ini terjadi tatkala banyak kalangan menunggangi teks-teks untuk kepentingan politis. Celakanya, kepentingan ini begitu jelas terbaca oleh publik. Terlebih masa Yazid b Muawiyah.

Yazid, waktu itu, mencoreng muka dinasti Umaiyah. Dengan sengaja, ia memerintahkan pembantaian Husein bin Ali beserta 70-an anggota keluarganya di Karbala, dekat kota Kufah, Iraq. Parahnya lagi, kepala Husein dipenggal dan diarak menuju Damaskus, pusat pemerintahan dinasti Umaiyah.

Bagaimanapun juga, Husein adalah cucu Nabi yang dicintai umat Islam. Karenanya, kemarahan umat tak terbendung. Kekecewaan ini begitu menggejala dan mengancam stabilitas Dinasti.

Akhirnya, dinasti Umaiyah merestui hadirnya paham Jabariyah. Ajaran Jabariyah menyatakan bahwa manusia tidak punya kekuasaan sama sekali. Manusia tunduk pada takdir yang telah digariskan Tuhan, tanpa bisa merubah. Opini ini ditujukan untuk menyatakan bahwa pembantaian itu memang telah digariskan Tuhan tanpa bisa dicegah oleh siapapun jua.

Nah, beberapa kalangan yang menolak opini itu akhirnya membentuk second opinion (opini rivalis) dengan mengelompokkan diri ke sekte Qadariyah. Jelasnya, paham ini menjadi anti tesis bagi paham Jabariyah. Qadariyah menyatakan bahwa manusia punya free will (kemampuan) untuk melakukan segalanya. Dan Tuhan hanya menjadi penonton dan hakim di akhirat kelak. Karenanya, pembantaian itu adalah murni kesalahan manusia yang karenanya harus dipertanggungjawabkan, di dunia dan akhirat.

Nah, melihat sedemikian kacaunya bahasan teologi dan politik, ada kalangan umat Islam yang enggan dan jenuh dengan semuanya. Mereka ini tidak sendiri, karena ternyata, mayoritas umat Islam mengalami hal yang sama. Karena tidak mau terlarut dalam perdebatan yang tak berkesudahan, mereka menarik diri dari perdebatan. Mereka memasrahkan semua urusan dan perilaku manusia pada Tuhan di akhirat kelak. Mereka menamakan diri Murji’ah.

Lambat laun, kelompok ini mendapatkan sambutan yang luar biasa. Terebih karena pandangannya yang apriori terhadap dunia politik. Karenanya, pihak kerajaan membiarkan ajaran semacam ini, hingga akhirnya menjadi sedemikian besar. Di antara para sahabat yang turut dalam kelompok ini adalah Abu Hurayrah, Abu Bakrah, Abdullah Ibn Umar, dan sebagainya. Mereka adalah sahabat yang punya banyak pengaruh di daerahnya masing-masing.

Pada tataran selanjutnya, dapatlah dikatakan bahwa Murjiah adalah cikal bakal Sunni (proto sunni). Karena banyaknya umat islam yang juga merasakan hal senada, maka mereka mulai mengelompokkan diri ke dalam suatu kelompok tersendiri.

Lantas, melihat parahnya polarisasi yang ada di kalangan umat islam, akhirnya ulama mempopulerkan beberapa hadits yang mendorong umat Islam untuk bersatu. Tercatat ada 3 hadits (dua diriwayatkan oleh Imam Turmudzi dan satu oleh Imam Tabrani). Dalam hadits ini diceritakan bahwa umat Yahudi akan terpecah ke dalam 71 golongan, Nasrani menjadi 72 golongan, dan Islam dalam 73 golongan. Semua golongan umat islam itu masuk neraka kecuali satu. "Siapa mereka itu, Rasul?" tanya sahabat. "Mâ ana Alaihi wa Ashâby," jawab Rasul. Bahkan dalam hadist riwayat Thabrani, secara eksplisit dinyatakan bahwa golongan itu adalah Ahlussunnah wal Jamaah.

Ungkapan Nabi itu lantas menjadi aksioma umum. Sejak saat itulah kata aswaja atau Sunni menjadi sedemikian populer di kalangan umat Islam. Bila sudah demikian, bisa dipastikan, tak akan ada penganut Aswaja yang berani mempersoalkan sebutan, serta hadits yang digunakan justifikasi, kendati banyak terdapat kerancuan di dalamnya. Karena jika diperhatikan lebih lanjut, hadits itu bertentangan dengan beberapa ayat tentang kemanusiaan Muhammad, bukan peramal.

Lantas, sekarang mari kita dudukkan aswaja dalam sebuah tempat yang nyaman. Lalu mari kita pandang ia dari berbagai sudut. Dan di antara sekian sudut pandang, satu di antaranya, yakni aswaja sebagai mazhab (doktrin-ideologi), diakui dan dianggap benar oleh publik. Sementara, ada satu pandangan yang kiranya bisa digunakan untuk memandang aswaja secara lebih jernih, yakni memahami aswaja sebagai manhaj. Mari kita diskusikan.

B. Aswaja sebagai Mazhab

Aswaja, selama ini sering dipandang hanya sebagai mazhab (aliran, sekte, ideologi, atau sejenisnya). Hal ini menyebabkan aswaja dianut sebagai sebuah doktrin yang diyakini kebenarannya, secara apriori (begitu saja). Kondisi ini menabukan kritik, apalagi mempertanyakan keabsahannya.

Jadi, tatkala menganut aswaja sebagai mazhab, seseorang hanya mengamalkan apa yang menjadi doktrin Aswaja. Doktrin-doktrin ini sedemikian banyak dan menyatu dalam kumpulan kitab yang pernah dikarang para ulama terdahulu. Di kalangan pesantren Nusantara, kiranya ada beberapa tulisan yang secara eksplisit menyangkut dan membahas doktrin Aswaja.

Hadrotus-Syeikh Hasyim Asy'ari menjelaskan Aswaja dalam kitab Qanun NU dengan melakukan pembakuan atas ajaran aswaja, bahwa dalam hal tawhid aswaja (harus) mengikuti Al-Maturidi, ulama Afganistan atau Abu Hasan Al Asy’ari, ulama Irak. Bahwa mengenai fiqh, mengikuti salah satu di antara 4 mazhab. Dan dalam hal tasawuf mengikuti Imam al-Ghazali atau Al-Junaidi.

Selain itu, KH Ali Maksum Krapyak, Jogjakarta juga menuliskan doktrin aswaja dengan judul Hujjah Ahlus Sunnah wal Jamaah, kitab yang cukup populer di pesantren dan madrasah NU. Kitab ini membuka pembahasan dengan mengajukan landasan normatif Aswaja. Beberapa hadits (meski dho'if) dan atsar sahabat disertakan. Kemudian, berbeda dengan Kyai Hasyim yang masih secara global, Mbah Maksum menjelaskan secara lebih detail. Beliau menjelaskan persoalan talqin mayit, shalat tarawih, adzan Jumat, shalat qabliyah Jumat, penentuan awal ramadhan dengan rukyat, dan sebagainya.

Itu hanya salah sat di antara sekian pembakuan yang telah terjadi ratusan tahun sebelumnya. Akhirnya, kejumudan (stagnasi) melanda doktrin Aswaja. Dipastikan, tidak banyak pemahaman baru atas teks-teks keagamaan yang muncul dari para penganut Aswaja. Yang terjadi hanyalah daur ulang atas pemahaman ulama-ulama klasik, tanpa menambahkan metodologi baru dalam memahami agama.

Lebih lanjut, adanya klaim keselamatan (salvation claim) yang begitu kuat (karena didukung oleh tiga hadits) membuat orang takut untuk memunculkan hal baru dalam beragama meski itu amat dibutuhkan demi menjawab perkembangan jaman. Akhirnya, lama-kelamaan, aswaja menjadi lapuk termakan usia dan banyak ditinggal jaman.

Benarkah aswaja bakal ditinggalkan oleh jaman?. Nyatanya, hingga kini, Aswaja justru dianut oleh mayoritas umat Islam di dunia. Mengapa hal ini terjadi, bila memang aswaja telah mengalami stagnasi?

Jawabannya satu: aswaja adalah doktrin. Seperti yang dicantumkan di muka, ini menyebabkan orang hanya menerimanya secara apriori (begitu saja dan apa adanya). Inilah yang dinamakan taqlid. Karena itu, stagnasi tetap saja terjadi. Akan tetapi, karena sudah dianggap (paling) benar, maka, bila doktrin itu berbenturan dengan “kenyataan” (al-Waqâ’i’) —yang terus berkembang dan kadang tidak klop dengan ajaran—, maka yang keliru adalah kenyataannya. Realitalah yang harus menyesuaikan diri dengan teks.

Pemahaman semacam itu pada akhirnya, menyebabkan pemaksaan ajaran aswaja dalam realita untuk menyelesaikan berbagai persoalan masyarakat. Hal ini menyebabkan peran aswaja tidak efektif dalam problem solving. Aswaja hanya akan menjadi duri dalam daging masyarakat yang amat membahayakan. Akibat lain yang biasa muncul, lebih banyak masalah yang timbul dari pada persoalan yang terpecahkan. Karenanya, taqlid buta seyogyanya diindari.

Akan tetapi, bagi masyarakat umum yang tingkat pemahamannya beragam, taqlid semacam ini menjadi jalan keluar alternatif dalam menghadapi persoalan dengan tetap berpegang pada Islam aswaja. Tetapi, pantaskah taqlid dilakukan oleh kalangan intelektual? Kiranya, kita bisa menjawabnya.

Tentu kita tidak mau Islam dengan aswajanya tidak bisa menyelesaikan problematika umat. Karenanya, harus ada keberanian untuk mengadakan gerakan baru, memberantas kejumudan. Ini adalah tugas mulia yang harus kita —utamanya kader PMII— tunaikan, demi menyelamatkan ajaran aswaja dari kejumudan, serta menyelamatkan masyarakat dari berbagai persoalan yang terus mengemuka.

C. Aswaja sebagai Manhaj

Nah, berbagai problem yang dihadapi ideologi aswaja, kiranya metode yang satu ini menawarkan sedikit jalan keluar. Meski masih tetap mengikuti aswaja, aswaja tidak diposisikan sebagai teks (baca: korpus) yang haram disentuh.

Karenanya, harus ada cara pandang baru dalam memahami aswaja. Bahwa dalam setiap ajaran (doktrin) punya nilai substansi yang sifatnya lintas batas karena universalitasnya. Hal ini bisa dilihat dari tiga nilai dasar aswaja; yakni tawazun, tawasuth, dan i’tidal.

Diketahui, nilai-nilai itu nyatanya amat fleksibel dan bisa diterapkan dalam situasi dan kondisi, bahkan tempat apapun. Selain itu, dalam aplikasinya, tiga nilai itu menuntut kerja intelektual agar bisa diterapkan dengan baik. Operasi jenis ini biasa disebut dengan ittiba’, yang tentunya lebih manusiawi dan memanusiakan.

Nilai-nilai ini bila dikembangkan akan menyebabkan aswaja semakin shalih likulli zamân wa makân, aplikabel di setiap masa dan ruang. Pun, aswaja bisa tampil dengan gaya yang enak dan diterima umum sebagai sebuah jalan keluar. Selain itu, Sunni yang mayoritas, bisa melakukan tugasnya menjaga stabilitas sosial keagamaan.

Nah, untuk sampai pada sisi ini, perlu ada keberanian dalam menempuh jalan yang berliku. Harus ada kerja keras untuk mencari lebih jauh tentang ajaran, tata norma, dan metode ijtihad aswaja yang humanis, egaliter, dan pluralis.

Hal ini juga bisa menampik beberapa organ Islam ekstrem yang secara eksplisit mengaku sebagai kaum Ahlussunnah wal Jamaah, meski suka mengkafirkan yang lain, menebar ketidaktenteraman di kalangan umat lain, serta tidak rukun dengan jamaah yang lain.

Namun, satu tantangan yang juga harus diperhatikan adalah kita sebagai mahasiswa —kader ASWAJA— yang punya kesempatan mendapatkan ilmu pengetahuan yang lebih baik, harus berani mengambil satu tindakan: ijtihad. Dan bila tidak berani sendiri, tak ada salahnya ijtihad berjamaah. Maka, selamat bergabung dengan kami.[p]
Hand-out untuk materi keaswajaan di MAPABA Rayon Syariah Komisariat Walisongo 2007 di PP Al Fatah, Demak. dirajut M. Nasrudin
Pada mulanya perbincangan baru seputar pertanyaan, mengapa aswaja menghambat perkembangan intelektual masyarakat ? diskusi terhadap doktrin ini lalu sampai kesimpulan, bahwa kemandegan berfikir ini karena kita mengadopsi mentah-mentah bahwa aswaja secara “Qod’I” (kemasan praktis pemikiran aswaja). Lalu dicobalah membongkar sisi metodologi berfikirnya (Manhaj Al-fikr): Yakni cara berfikir yang menganggap prinsip Tawasuth (moderat), Tawazun (keseimbangan), dan Ta’adul (keadilan). Setidaknya prinsip ini bisa mengantarkan pada sikap keberagaman yang non tatharruf atau ekstrim kiri dan kanan.
LATAR KULTURAL DAN POLITIK KELAHIRAN ASWAJA
Selama ini yang kita ketahui tentang ahlusunnah waljama’ah adalah madzhab yang dalam masalah aqidah mengikuti imam Abu Musa Al Asyari dan Abu Mansur Al Maturidi. Dalam praktek peribadatan mengikuti salah satu madzhab empat, dan dalam bertawasuf mengikuti imam Abu Qosim Al Junandi dan imam Abu khamid Al Gozali.
Kalau kita mempelajari Ahlussunnah dengan sebenarnya, batasan seperti itu nampak begitu simple dan sederhana, karena pengertian tersebut menciptakan definisi yang sangat eksklusif Untuk mengkaji secara mendalam, terlebih dahulu harus kita tekankan bahwa Ahlussunnah Waljamaah (Aswaja) sesungguhnya bukanlah madzhab, Aswaja hanyalah sebuah manhaj Al fikr (cara berpikir) tertentu yang digariskan oleh para sahabat dan muridnya, yaitu generasi tabi’in yang memiliki intelektualitas tinggi dan relatif netral dalam mensikapi situasi politik ketika itu. Meski demikian, bukan berarti dalam kedudukannya sebagai Manhaj Al fikr sekalipun merupakan produk yang bersih dari realitas sosio-kultural maupun sosio politik yang melingkupinya.
Ahlusunnah tidak bisa terlepas dari kultur bangsa arab “tempat islam tumbuh dan berkembang untuk pertama kali”. Seperti kita ketahui bersama, bangsa arab adalah bangsa yang terdiri dari beraneka ragam suku dan kabilah yang biasa hidup secara peduli. Dari watak alami dan karakteristik daerahnya yang sebagai besar padang pasir watak orang arab sulit bersatu dan bahkan ada titik kesatuan diantara mereka merupakan sesuatu yang hampir mustahil. Di tengah-tengah kondisi bangsa yang demikian rapuh yang sangat labil persatuan dan kebersamaannya, Rosulullah diutus membawa Islam dengan misi yang sangat menekankan ukhuwah, persamaan dan persaudaraan manusia atas dasar idiologi atau iman. Selama 23 tahun dengan segala kehebatan, kharisma, dan kebesaran yang dimilikinya, Rosulullah mampu meredam kefanatikan qobilah menjadi kefanatikan agama (ghiroh islamiyah). Jelasnya Rosulullah mampu membangun persatuan, persaudaraan, ukhuwah dan kesejajaran martabat dan fitrah manusia. Namun dasar watak alami bangsa arab yang sulit bersatu, setelah Rosulullah meninggal dan bahkan jasad beliau belum dikebumikan benih-benih perpecahan, gendrang perselisihan sudah mulai terdengar, terutama dalam menyikapi siapa figure yang tepat mengganti Rosulullah ( peristiwa bani saqifah ).
Perselisihan internal dikalangan umat Islam ini, secara sistematis dan periodik terus berlanjut pasca meninggalnya Rosulullah, yang akhirnya komoditi perpecahan menjadi sangat beragam. Ada karena masalah politik dikemas rapi seakan-akan masalah agama, dan aja juga masalah-masalah agama dijadikan legitimasi untuk mencapai ambisi politik dan kekuasaan.
Unsur-unsur perpecahan dikalangan internal umat Islam merupakan potensi yang sewaktu-waktu bisa meledak sebagai bom waktu, bukti ini semakin nampak dengan diangkatnya Usman Bin Affan sebagai kholifah pengganti Umar bin Khottob oleh tim formatur yang dibentuk oleh Umar menjelang meninggalnya beliau, yang mau tidak mau menyisahkan kekecewaan politik bagi pendukung Ali waktu itu. Fakta kelabu ini ternyata menjadi tragedy besar dalam sejarah umat Islam yaitu dengan dibunuhnya Kholifah Usman oleh putra Abu Bakar yang bernama Muhammad bin Abu Bakar. Peristiwa ini yang menjadi latar belakang terjadinya perang Jamal antara Siti Aisyah dan Sayidina Ali. Dan berikut keadaan semakin kacau balau dan situasi politik semakin tidak menentu, sehingga dikalangan internal umat Islam mulai terpecah menjadi firqoh-firqoh seperti Qodariyah, Jabbariyah Mu’tazilah dan kemudian lahirlah Ahlus sunah. Melihat rentetan latar belakang sejarah yang mengiringi lahirnya Aswaja, dapat ditarik garis kesimpulan bahwa lahirnya Aswaja tidak bisa terlepas dari latar belakang politik.
ASWAJA SEBAGAI MANHAJ AL-FIKR
Melihat dari latar cultural dan politik sejarah kelahiran Aswaja, beserta ruang lingkup yang ada di dalamnya. Terminologi Aswaja yang sebagai mana kita pegangi selama ini, sehingga tidak jarang memunculkan paradigma jumud (mandeg), kaku, dan eksklusif atau bahkan menganggap sebagai sebuah madzhab dan idiologi yang Qod’i. Bagaimana mungkin dalam satu madzhab kok mengandung beberapa madzhab, dan bagaimana mungkin dalam satu idiologi ada doktrin yang kontradiktif antara doktrin imam satu dengan imam yang lain.
Salah satu karakter Aswaja adalah selalu bisa beradaptasi dengan situasi dan kondisi, oleh karena itu Aswaja tidaklah jumud, tidak kaku, tidak eksklusif, dan juga tidak elitis, apa lagi ekstrim. Sebaliknya Aswaja bisa berkembang dan sekaligus dimungkinkan bisa mendobrak kemapanan yang sudah kondusif. Tentunya perubahan tersebut harus tetap mengacu pada paradigma dan prinsip al-sholih wa al-ahslah. Karena itu menurut saya implementasi dari qaidah al-muhafadhoh ala qodim al-sholih wa al-akhdzu bi al jadid alashlah. Adalah menyamakan langkah sesuai dengan kondisi yang berkembang pada masa kini dan masa yang akan datang. Yakni pemekaran relevansi implementatif pemikiran dan gerakan kongkrit ke dalam semua sector dan bidang kehidupan baik, aqidah, syariah, akhlaq, social budaya, ekonomi, politik, pendidikan dan lain sebagainya.
Walhasil, Aswaja itu sebenarnya bukanlah madzhab. Tetapi hanyalah manhaj al-fikr atau paham saja, yang di dalamnya masih memuat beberapa aliran dan madzhab. Ini berarti masih terbuka luas bagi kita wacana pemikiran Islam yang transformatif, kreatif, dan inovatif, sehingga dapat mengakomodir nuansa perkembangan kemajuan budaya manusia. Atau selalu up to date dan tanggap terhadap tantangan jaman. Nah dengan demikian akan terjadi kebekuan dan kefakuman besar-besaran diantara kita kalau doktrin-doktrin eksklusif yang ada dalam Aswaja seperti yang selama ini kita dengar dan kita pahami dicerna mentah-mentah sesuai dengan kemasan praktis pemikiran aswaja, tanpa mau membongkar sisi metodologi berfikirnya, yakni kerangka berpikir yang menganggap prinsip tawassuth (moderat), tawazun (keseimbangan), ta’adul ( keadilan) dapat mengantarkan pada sikap yang mau dan mampu menghargai keberagaman yang non ekstrimitas (tatharruf) kiri ataupun kanan.
NILAI-NILAI ASWAJA YANG TOLERAN DAN ANTI EKSTREM?
Dalam sejarah tokoh pemikir Islam, kehadiran Abu Hasan al-Asya’ari dan Abu Manshur al-Maturidi, melalui pemikiran-pemikiran teologis kedua orang ini berhasil mempengaruhi pikiran banyak orang dan mengubah kecenderungan dari berpikir rasionalis ala Mu’tazilah kepada berpikir tradisionalis dengan berpegang pada sunnah Nabi. Asawaja dengan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya seperti tawassuth, tawazun tasamuh mampu tampil sebagai sebuah ajaran yang berkarakter lentur, moderat, dan fleksibel. Dari sikap yang lentur dan fleksibel tersebut barang kali yang bisa mengantarkan paham ini diterima oleh mayoritas umat Islam di Indonesia.
Ajaran Aswaja
Sebagaimana kita ketahui bahwa ajaran dari agama Islam itu terdiri dari tiga macam, yaitu:
• Ajaran tentang Islam, yang dipergunakan untuk membimbing manusia selaku makhluk yang memiliki nafsu (homo animale).
• Ajaran tentang Imam, yang dipergunakan untuk membimbing manusia selaku makhluk yang memiliki akal fikiran (homo rationale).
• Ajaran tentang Ihsan, yang dipergunakan untuk membimbing manusia selaku makhluk yang memiliki budi pekerti, atau hati nurani, atau sarirah, atau 'ainul bashirah (homo somatica)
Ketiga ajaran agama Islam tersebut, yaitu: Imam, Islam dan Ihsan, disebut sebagai Risalah Islamiyah atau Fithrah Munazzalah. Sedang ketiga unsur jiwa manusia tersebut, yaitu: nafsu, akal fikiran dan hati nurani, disebut sebagai Fithrah Mukhallaqah.
Faham atau aliran Aswaja, dalam bidang:
• Keimanan, mengikuti faham yang dirumuskan oleh Imam Abul Hasan Al Asy'ari, atau Imam Abu Mansur Al Maturidi.
• Fiqih, mengikuti salah satu dari madzhab empat: Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hambali.
• Akhlaq/tasawwuf, mengikuti faham yang dirumuskan oleh Imam Junaid Al Baghdadi dan Imam Al Ghozali serta orang-orang yang sefaham dengan kedua beliau.
Tujuan utama dari Risalah Islamiyah itu adalah untuk membentuk Insan Kamil, yaitu manusia yang seluruh aspek hidup dan kehidupannya telah dijiwai oleh ketiga ajaran agama Islam. Untuk itu setiap muslim dituntut untuk melakukan peningkatan dalam ketiga bidang ajaran agama Islam tersebut, baik dari segi kwantitas maupun dari segi kwalitas.
Peningkatan imam dari segi kwantitas, ialah dengan jalan mengamalkan cabang-cabang sebanyak 77 cabang, sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi Muhammad saw. yang diriwayatkan oleh para ahli hadits sebagai berikut:
اَلإِيْمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُوْنَ شُعْبَةً ، اَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ اِلهَ إِلاَّ اللّهُ وَاَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيْمَانِ . رَوَاهُ الْمُحَدِّثُوْنَ .
Iman itu tujuh puluh tujuh cabangnya. Cabang yang paling utama adalah mengucapkan kalimah "Laa ilaaha illallaah" dan cabang yang paling rendah adalah menyingkirkan rintangan dari jalan. Dan malu berbuat maksiat adalah salah satu cabang dari iman. (H.R. para ahli hadits)
Ketujuh puluh tujuh cabang iman tersebut dituturkan oleh Syeikh Zainuddin bin Ali dalam kitab Syu'abul Iman sebagai berikut:
1. Beriman kepada Allah.
2. Beriman kepada para malaikat.
3. Beriman kepada kitab-kitab Allah.
4. Beriman kepada para nabi.
5. Beriman kepada hari kiamat.
6. Beriman kepada kepada kebangkitan orang yang sudah mati.
7. Beriman kepada qadar.
8. Beriman bahwa para makhluk semuanya sesudah dibangkitkan dari kubur, akan digiring ke padang mahsyar, yaitu tempat pemberhentian mereka di hari kiamat.
9. Beriman bahwa sesungguhnya surga itu adalah tempat tinggal yang kekal bagi orang muslim.
10. Mencintai Allah ta'ala.
11. Takut kepada siksa Allah.
12. Mengharap rahmat Allah ta'ala.
13. Tawakkal.
14. Mencintai Nabi Muhammad saw.
15. Mengagungkan derajat Nabi Muhammad saw.
16. Bakhil dengan agama Islam.
17. Mencari ilmu;
18. Menyebarkan ilmu agama Islam.
19. Mengagungkan dan menghormati Al Qur'an.
20. Bersuci.
21. Menunaikan shalat lima waktu dengan sempurna.
22. Memberikan zakat kepada yang berhak menerimanya dengan niat yang khusus.
23. Berpuasa pada bulan Ramadlan.
24. I'tikaf.
25. Menunaikan ibadah haji.
26. Berjuang membela agama.
27. Mempertahankan garis demarkasi.
28. Tetap dalam memerangi musuh dan tidak lari dari medan pertempuran.
29. Memberikan seperlima dari harta rampasan perang.
30. Memerdekakan budak yang mu'min.
31. Membayar kafarat.
32. Memenuhi janji.
33. Bersyukur.
34. Menjaga lidah dari omongan yang tidak pantas.
35. Menjaga kemaluan dari hal-hal yang dilarang oleh Allah.
36. Menunaikan amanat kepada yang berhak.
37. Meninggalkan membunuh orang muslim.
38. Menjaga diri dari makanan dan minuman yang diharamkan.
39. Menjaga diri dari harta yang haram.
40. Menjaga diri dari pakaian, perhiasan dan tempat (bejana) yang diharamkan.
41. Menjaga diri dari permaianan-permainan yang dilarang.
42. Sederhana dalam membelanjakan harta.
43. Meninggalkan dendam dan hasud.
44. Melarang mencela orang-orang muslim, baik di hadapan mereka atau tidak.
45. Ikhlas dalam beramal karena Allah ta'ala.
46. Senang sebab ta'at, susah sebab kehilangan ta'at dan menyesal sebab maksiat.
47. Bertaubat.
48. Menyembelih kurban, aqiqah dan hadiah.
49. Ta'at kepada ulil amri, mengenai perintah mereka yang berjalan menurut kaidah-kaidah syara', demikian pula ta'at kepada larangan mereka yang sesuai dengan kaidah-kaidah syara'.
50. Berpegang teguh pada apa yang telah disepakati jama'ah.
51. Menghukumi manusia dengan adil.
52. Menyuruh perkara yang telah diketahui kebaikannya dan melarang parkara yang mungkar.
53. Saling membantu dalam kebajikan dan ketaqwaan.
54. Malu kepada Allah.
55. Berbuat baik kepada kedua orang tua.
56. Silatur rahim.
57. Berbudi pekerti yang baik.
58. Berbuat baik kepada budak belian.
59. Ketaatan budak kepada majikannya.
60. Menjaga hak isteri dan anak-anak.
61. Menyintai ahli agama.
62. Menjawab salam dari orang-orang muslim.
63. Mengunjungi orang yang sakit.
64. Menyalati mmayit yang muslim.
65. Membacakan "tasymit" kepada orang yang bersin yang membaca "hamdalah".
66. Menjauhi setiap orang yang berbuat kerusakan.
67. Memuliakan tetangga.
68. Memuliakan tamu.
69. Menutupi cacat orang-orang muslim.
70. Sabar dalam menjalankan keta'atan sehingga dapat melaksanakannya.
71. Zuhud.
72. Cemburu dan tidak membiarkan isterinya bercumbu rayu dengan laki-laki lain.
73. Berpaling dari omongan yang tidak berguna.
74. Dermawan.
75. Menghormati orang tua dan menyayangi anak muda.
76. Mendamaikan pertikaian yang ada di antara orang-orang muslim.
77. Mencintai untuk orang lain apa saja yang dicintai untuk dirinya sendiri.
Sedang meningkatkan kwalitas iman, adalah berusaha meningkatkan iman dari 'ilmul yaqin, menjadi 'ainul yaqin dan terakhir menjadi haqqul yaqin.

Meningkatkan amal Islam dari segi kwantitas harus dilakukan dengan jalan mem-perbanyak jumlah amal ibadah yang dikerjakan dan berusaha untuk menjalankannya dengan istiqamah. Sedang meningkatkan amal Islam dari segi kwalitas harus dilakukan dengan jalan melakukan amal ibadah karena takut kepada siksa Allah, menjadi karena mengharapkan sorga Allah, dan terakhir karena semata-mata ingin mendekat-kan diri kepada Allah.
Meningkatkan amal Ihsan dari segi kwantitas, harus dilakukana dengan jalan mem-bersihkan hati dari akhlak-akhlak yang tersela yang induknya oleh Imam Al Ghazali disebutkan sebanyak 10, kemudian menghiasi hatinya dengan akhlak-akhlak yang terpuji yang induknya oleh Imam Al Ghazali disebutkan sebanyak 10.
 Sepuluh induk akhlak tercela:
1. Tamak terhadap makanan
2. Tamak kepada omongan
3. Suka marah
4. Hasud
5. Bakhil dan senang harta
6. Ambisi dan gila hormat
7. Senang dunia
8. Ujub atau membanggakan diri
9. Takabur
10. Riya' atau mencari simpati dari selain Allah dengan amal ibadah
 Sepuluh induk akhlak terpuji:
1. Bertaubat
2. Khauf dan raja'
3. Zuhud
4. Sabar
5. Syukur
6. Ikhlas dan jujur
7. Tawakkal
8. Cinta kepada Allah
9. Rela kepada ketentuan Allah
10. Selalu mengingat mati dan hakekatnya
Sedang meningkatkan amal Ihsan dari segi kualitas adalah berusaha meningkatkan diri dari tingkat orang awam menjadi orang shalih. Dari tingkat orang shalih menjadi orang yang bertaqwa. Dari orang yang bertaqwa menjadi orang yang mencintai Allah. Dari orang yang mencintai Allah menjadi ahli ma'rifat. (Sumber : H. Achmad Masduqi Machfudh
Malang)
17 april 2010
Aswaja: Dari Mazhab Menuju Manhaj
Paham Ahlussunnah wal Jama’ah yang dianut NU
Berkembangnya Ahlussunah wal Jama’ah di Indonesia berbarengan dengan berkembangnya Islam di Indonesia yang dibawa oleh para wali. Di pulau Jawa, peranan Walisongo sangat berpengaruh dalam memantapkan eksistensi Ahlussunnah wal Jama’ah. Namun, Ahlussunnah wal Jama’ah yang dikembangkan Walisongo masih dalam bentuk ajaran-ajaran yang sifatnya tidak dilembagakan dalam suatu wadah organisasi mengingat ketika itu belum berkembang organisasi.
Pelembagaan ajaran Ahlussunah wal Jama’ah di Indonesia dengan karakter yang khas terjadi setelah didirikannya Nahdlatul Ulama (NU) pada tahun 1926. NU adalah sebagai satu-satunya organisasi keagamaan yang secara formal dan normatif menempatkan Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai paham keagamaan yang dianutnya. (12

KH. M. Hasyim Asy'ari sebagai salah seorang pendiri NU, telah merumuskan konsep Ahlussunnah wal Jama’ah dalam kitab al-Qânûn al-Asâsiy li Jami’yyah Nahdlah al-‘Ulamâ’. Al-Qânûn al-Asâsiy berisi dua bagian pokok, yaitu :
(1) risalah Ahlussunnah wal Jama’ah, yang memuat tentang kategorisasi sunnah dan bid’ah dan penyebarannya di pulau Jawa, dan
(2) keharusan mengikuti mazhab empat,(13 karena hidup bermazahab itu lebih dapat menyatukan kebenaran, lebih dekat untuk merenungkan, lebih mengarah pada ketelitian, dan lebih mudah dijangkau. Inilah yang dilakukan oleh salafunâ al-shâlih (generasi terdahulu yang salih).(14

Mengenai istilah Ahlussunnah wal Jama’ah, KH. M. Hasyim Asy’ari dengan mengutip Abu al-Baqa' dalam bukunya, al-Kulliyyât, mengartikannya secara bahasa sebagai jalan, meskipun jalan itu tidak disukai. Menurut syara', ‘sunnah’ adalah sebutan bagi jalan yang disukai dan dijalani dalam agama sebagaimana dipraktekkan oleh Rasulullah Saw. atau tokoh agama lainnya, seperti para sahabat. Sebagaimana dikatakan Syeikh Zaruq dalam kitab ‘Uddah al-Murîd, menurut syara', ‘bid'ah’ adalah munculnya perkara baru dalam agama yang kemudian mirip bagian agama, padahal bukan bagian darinya, baik formal maupun hakekatnya. (15
Yang menarik dalam Qânûn Asâsiy adalah bahwa KH. M. Hasyim Asy'ari melakukan serangan keras kepada Muhammad ‘Abduh, Rasyid Ridha, Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahhab, Ibn Taimiyah, dan dua muridnya Ibn al-Qayyim dan Ibn ‘Abd al-Hadi yang telah mengharamkan praktek yang telah disepakati umat Islam sebagai bentuk kebaikan seperti ziarah ke makam Rasulullah. Dengan mengutip pendapat Syeikh Muhammad Bakhit al-Hanafi al-Muti'i dalam risalahnya Tathîr al-Fu'âd min Danas al-'Itiqâd, KH. M. Hasyim Asy'ari menganggap kelompok ini telah menjadi fitnah bagi kaum muslimin, baik salaf maupun khalaf. Mereka merupakan aib dan sumber perpecahan bagi kaum muslimin yang mesti segera dihambat agar tidak menjalar ke mana-mana. (16
Dalam perkembangan selanjutnya, konsep Ahlussunnah wal Jama’ah tersebut mengalami proses pergulatan dan penafsiran yang intensif di kalangan warga NU. Sejak ditahbiskan sebagai paham keagamaan warga NU, Ahlussunnah wal Jama’ah mengalami kontekstualisasi yang beragam. Meskipun demikian, kontekstualisasi Ahlussunnah wal Jama’ah, tidak menghilangkan makna dasarnya sebagai paham atau ajaran Islam yang pernah diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah Saw. bersama para sahabatnya.
Titik tolak dari paham Ahlussunnah wal Jama’ah terletak pada prinsip dasar ajaran Islam yang bersumber kepada Rasulullah dan para sahabatnya. Ada beberapa tokoh-tokoh NU yang menafsirkan paham Ahlussunnah wal Jama’ah, di antaranya adalah KH. Bisri Mustofa, KH. Achmad Siddiq, KH. Saefuddin Zuhri, KH. Dawam Anwar, KH. Said Aqil Siradj, KH. Sahal Mahfuzh, KH. Wahid Zaini, KH. Muchith Muzadi, dan KH. Tolchah Hasan.
Oleh para ulama NU, Ahlussunnah wal Jama’ah dimaknai dalam dua pengertian.
Pertama, Ahlussunah Wal Jama’ah sudah ada sejak zaman sahabat nabi dan tabi'in yang biasanya disebut generasi salaf. Pendapat ini didasarkan pada pengertian Ahlussunah Wal Jama’ah, yakni mereka yang selalu mengikuti sunnah Nabi Saw. dan para sahabatnya.
Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa Ahlussunah Wal Jama’ah adalah paham keagamaan yang baru ada setelah munculnya rumusan teologi Asy'ari dan Maturidi dalam bidang teologi, rumusan fiqhiyyah mazhab empat dalam bidang fikih serta rumusan tashawuf Junayd al-Bagdadi dalam bidang tashawuf . (17
Pengertian pertama sejalan dengan sabda Nabi Saw.: “Hendaklah kamu sekalian berpegang teguh kepada sunnah Nabi dan sunnah al-khulafâ al-râsyidin yang mendapat petunjuk” (HR. at-Tirmidzi dan al-Hakim). Dalam hadits tersebut, yang dimaksud bukan sahabat yang tergolong al-khulafâ’ al-râsyidûn saja, tetapi juga sahabat-sahabat lain, yang memiliki kedudukan yang penting dalam pengamalan dan penyebaran Islam.
Nabi Saw. bersabda: “Sahabat-sahabatku seperti bintang (di atas langit) kepada siapa saja di antara kamu mengikutinya, maka kamu telah mendapat petunjuk”. (HR. al-Baihaqi).
Sesudah genersi tersebut, yang meneruskan ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah adalah para tabi’in (pengikut sahabat), sesudah itu dilanjutkan oleh tabi’it-tabi’in (generasi sesudah tabi’in) dan demikian seterusnya yang kemudian dikenal sebagai penerus Nabi, yaitu ulama.
Nabi Saw. bersabda: “Ulama adalah penerang-penerang dunia, pemimimpin-pemimpin di bumi, dan pewarisku dan pewaris nabi-nabi” (HR. Ibn ‘Ady) (18 . Itu sebabnya, paham Ahlussunnah wal jama’ah, sesungguhnya adalah ajaran Islam yang diajarkan oleh Rasulullah, sahabat, tabi’in, dan generasi berikutnya.
Pengertian ini didukung oleh KH. Achmad Siddiq yang mengatakan bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah adalah pengikut dari garis perjalanan Rasulullah Saw. dan para pengikutnya sebagai hasil permufakatan golongan terbesar umat Islam.(19 Pengertian ini dipertegas lagi oleh KH. Saefudin Zuhri yang mengatakan bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah adalah segolongan pengikut sunnah Rasulullah Saw. yang di dalam melaksanakan ajaran-ajarannya berjalan di atas garis yang dipraktekkan oleh jama'ah (sahabat Nabi). Atau dengan kata lain, golongan yang menyatukan dirinya dengan para sahabat di dalam mempraktekkan ajaran-ajaran Nabi Muhammad Saw., yang meliputi akidah, fikih, akhlaq, dan jihad.(20
Namun demikian, dalam perkembangan selanjutnya, makna Ahlussunnah wal Jama’ah di lingkungan NU lebih menyempit lagi, yakni kelompok atau orang-orang yang mengikuti para imam mazhab, seperti Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali dalam bidang fikih; mengikuti Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi dalam bidang tauhid, dan Junaid al-Bagdadi dan al-Ghazali dalam bidang tashawuf. (21
Pengertian ini dimaksudkan untuk melestarikan, mempertahankan, mengamalkan dan mengembangkan paham Ahlussunnah wal Jama’ah. Hal ini bukan berarti NU menyalahkan mazhab-mazhab mu’tabar lainnya, melainkan NU berpendirian bahwa dengan mengikuti mazhab yang jelas metode dan produknya, warga NU akan lebih terjamin berada di jalan yang lurus. Menurut NU, sistem bermazahab adalah sistem yang terbaik untuk melestarikan, mempertahankan, mengamalkan dan mengembangkan ajaran Islam, supaya tetap tergolong Ahlussunnah wal Jama’ah. (22
Di luar dua pengertian di atas, KH. Said Agil Siradj memberikan pengertian lain. Menurutnya, Ahlussunnah wal Jama’ah adalah orang-orang yang memiliki metode berfikir keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan yang berlandaskan atas dasar-dasar moderasi, menjaga keseimbangan, dan toleransi. Baginya, Ahlussunnah wal Jama’ah harus diletakkan secara proporsional, yakni Ahlussunnah wal Jama’ah bukan sebagai mazhab, melainkan hanyalah sebuah manhaj al-fikr (cara berpikir tertentu) yang digariskan oleh sahabat dan para muridnya, yaitu generasi tabi'in yang memiliki intelektualitas tinggi dan relatif netral dalam menyikapi situasi politik ketika itu. Meskipun demikian, hal itu bukan berarti bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai manhaj al-fikr adalah produk yang bebas dari realitas sosio-kultural dan sosio-politik yang melingkupinya. (23
Sejak berdirinya, NU telah menetapkan diri sebagai jam’iyah yang berakidah Islam Ahlussunnah wal Jama’ah. Dalam Muqaddimah Qânûn Asâsiy-nya, pendiri jam’iyyah NU, KH. M. Hasyim Asy’ari menegaskan, “Hai para ulama dan pemimpin yang takut pada Allah dari kalangan Ahlussunnah wal Jama’ah dan pengikut imam empat, kalian sudah menuntut ilmu agama dari orang-orang yang hidup sebelum kalian. Dari sini, kalian harus melihat dari siapa kalian mencari atau menuntut ilmu agama Islam. Berhubung dengan cara menuntut ilmu pengetahuan sedemikian itu, maka kalian menjadi pemegang kuncinya, bahkan menjadi pintu-pintu gerbangnya ilmu agama Islam. Oleh karena itu, janganlah memasuki rumah kecuali melalui pintunya. Siapa saja yang memasuki suatu rumah tidak melalui pintunya maka pencurilah namanya!”
Bagi NU, landasan Islam adalah al-Qur’an, sunnah (perkataan, perbuatan dan taqrîr/ketetapan) Nabi Muhammad Saw. sebagaimana telah dilakukan bersama para sahabatnya dan sunnah al-khulafâ’ al-rasyidîn, Abu Bakr al-Shiddiq, ‘Umar ibn al-Khaththab, ‘Utsman ibn ‘Affan dan ‘Ali ibn Abi Thalib. Dengan landasan ini, maka bagi NU, Ahlussunnah wal Jama’ah dimengerti sebagai ‘para pengikut sunnah Nabi dan ijma’ para ulama’. NU menerima ijtihad dalam konteks bagaimana ijtihad itu dapat dimengerti oleh umat. Ulama pendiri NU menyadari bahwa tidak seluruh umat Islam dapat memahami dan menafsirkan ayat al-Qur’an maupun matn (isi) hadits dengan baik. Di sinilah peran ulama, yang sanadnya (mata rantai) bersambung sampai ke Rasulullah Saw., diperlukan untuk mempermudah pemahaman itu.
Dalam menggunakan landasan itu, ada tiga ciri utama Ahlussunnah wa al-Jama’ah yang dianut NU, :
pertama, adanya keseimbangan antara dalil aqliy (rasio) dan dalil naqliy (al-Qur’an dan al-Hadits), dengan penekanan dalil aqliy ditempatkan di bawah dalil naqliy.
Kedua, berusaha sekuat tenaga memurnikan akidah dari segala campuran akidah di luar Islam.
Ketiga, tidak mudah menjatuhkan vonis musyrik, kufur dan sebagainya atas seseorang yang karena sesuatu sebab belum dapat memurnikan akidahnya.
Dalam hal tashawuf, NU berusaha mengimplementasikan îmân, islâm dan ihsân secara serempak, terpadu dan berkesinambungan. Berlandaskan tashawuf yang dianut, NU dapat menerima hal-hal baru yang bersifat lokal sepanjang dapat meningkatkan intensitas keberagaman. Dengan tashawuf yang dianut, NU juga berusaha menjaga setiap perkembangan agar tidak menyimpang dari ajaran Islam.

Ilmu merupakan harta abstrak titipan Allah Subhanahu wata'ala kepada seluruh manusia yang akan bertambah bila diamalkan, salah satu pengamalannya adalah dengan membagi-bagikan ilmu itu kepada yang membutuhkan.
Janganlah sombong dengan ilmu yang sedikit, karena jika Allah Subhanahu wata'ala berkehendak ilmu itu akan sirna dalam sekejap, beritahulah orang yang tidak tahu, tunjukilah orang yang minta petunjuk, amalkanlah ilmu itu sebatas yang engkau mampu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar